Wangsa Kuru: Perang Saudara dan Imajinasi Dinasti dalam Kisah Mahabharata

Lentera Fajar Muhammad
6 min readFeb 26, 2021

Epos Mahabharata merupakan salah satu warisan terbesar dunia. Pelajaran yang terkandung di dalamnya relevan hingga hari ini. Mungkin bila mendengar kata Mahabharata biasanya terbayang Arjuna yang tampan, atau Bima yang gagah perkasa, atau sebuah perang besar yang terjadi antara saudara. Akan tetapi tulisan ini tidak akan berbicara banyak tentang mereka. Sangat disarankan sebelum membaca lebih lanjut lagi kisanak duduk sejenak, menghela nafas panjang, arahkan pandangan sejauh 6 meter atau lebih, lihat ke layar lagi, mantap.

Sumber: Mahabharata Wallpaper

Sekilas Mahabharata

Bagi yang masih asing, Mahabharata secara sederhana bercerita tentang pertentangan antara dharma yang bisa diartikan sebagai kebajikan melawan adharma yang berarti keburukan. Dharma diwakili oleh para Pandawa, lima orang putra Prabu Pandudewanata. Sementara di sisi lain adharma diwakili oleh bala Kurawa yaitu Duryudana dan 100 orang adiknya yang merupakan putra Prabu Destarastra. Proses pertentangan ini memuncak pada saat pecah perang Bharatayuda, sebuah perang saudara antar anak keturunan Prabu Bharata, demi memperebutkan takhta Hastinapura.

Riwayat Wangsa Kuru

Tersebutlah seorang raja bergelar Prabu Santanu yang bertakhta di Hastinapura. Seorang raja terpandang dari garis keturunan Wangsa Kuru. Dari pernikahannya yang pertama ia berputra Dewabrata, seorang anak yang kelak tumbuh gagah perkasa dan sangat berbakti kepada orang tuanya. Naas, bayi ini tumbuh tanpa ibundanya yang pergi karena sang Prabu gagal menepati janji pernikahan.

Hingga suatu hari Prabu Santanu pergi berburu ke tengah hutan dan bertemu dengan Dewi Satyawati. Keinginan sang Prabu untuk memperistri Satyawati menemui rintangan karena Satyawati hanya mau menikah bila anaknya yang akan menjadi penerus takhta, sementara pada saat itu Santanu sudah memiliki seorang putra.

Prabu Santanu lalu jatuh sakit selama berhari-hari, akibat derita cinta tak berbalas. Dewabrata segera sadar ada masalah yang menimpa ayahandanya, masuklah ia ke kamar ayahnya dan bertanya apa yang bisa ia bantu. Dengan hati yang berat, sang Prabu bercerita tentang semua yang terjadi selama perburuannya. Dewabrata lalu pergi menemui Satyawati di pinggir sungai Yamuna. Disana ia bersumpah tidak akan menikah dan meneruskan takhta Wangsa Kuru, agar tidak muncul perebutan takhta antara keturunannya dengan keturunan Satyawati di kemudian hari. Sumpah ini disaksikan para dewa dan sejak saat itu Dewabrata bernama Bhisma.

Prabu Santanu dan Dewi Satyawati lalu menikah dan memiliki dua orang putra, Citranggada dan Wicitrawirya. Sepeninggal Santanu, takhta lalu diteruskan berturut-turut oleh kakak beradik ini. Sayang sekali keduanya menemui ajal tak lama setelah naik takhta. Citranggada meninggal sebelum menikah dan Wicitrawirya meninggal sebelum memiliki putra. Selanjutnya agar suksesi kepemimpinan dapat berlangsung maka kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, dinikahkan dengan Abyasa. Abyasa sendiri merupakan putra dari pernikahan Satyawati dengan Resi Parasurama sebelum bertemu dengan Santanu.

Ambika sangat ketakutan pada saat bertemu pertama kali dengan Abyasa sehingga ia memejamkan matanya. Sementara itu Ambalika yang juga ketakutan memalingkan muka dengan wajah yang pucat. Akhirnya anak yang mereka lahirkan memiliki cacat ketika dilahirkan. Anak Ambika lahir dengan mata yang buta sementara anak Ambalika lehernya miring dan berwajah pucat, sama dengan kondisi ibu mereka saat bertemu Abyasa. Kedua anak tersebut masing-masing diberi nama Destarastra dan Pandu. Destarastra sebagai anak yang lebih dulu lahir seharusnya naik menjadi raja. Akan tetapi karena matanya buta maka akhirnya Pandu yang melanjutkan suksesi kekuasaan.

Pandu memimpin dengan adil dan beroleh dua orang istri yang saling menyayangi. Hingga suatu hari Pandu pergi berburu. Tanpa sengaja ia memanah resi Kindama yang sedang bersenggama dalam wujud rusa. Akibat perbuatannya itu maka Pandu dijatuhi kutukan akan meninggal bila melakukan senggama. Merasa ingin menebus dosanya, Pandu lalu mengajak kedua istrinya pergi ke hutan dan menempuh hidup sebagai pertapa. Sementara takhta diserahkan kepada kakaknya.

Selama di hutan akhirnya Pandu mengetahui rahasia Kunti, istri pertamanya, yang memiliki ajian adityarhedaya. Ajian ini mampu memanggil dewa yang diinginkan dan memperoleh keturunan dari mereka. Atas bujukan Pandu maka Kunti akhirnya memperoleh tiga orang anak dari tiga orang dewa. Mereka adalah Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kunti juga mengajarkan ajian ini ke istri kedua Pandu, Madrim. Madrim lalu memiliki anak kembar setelah memanggil dewa kembar, mereka lalu dinamakan Nakula dan Sadewa. Kelima orang anak ini disebut Pandawa, yang artinya putra Pandu

Kelak kemudian hari, perseteruan antara kelima orang putra Pandu dan keturunan Destarastra akan menjadi fokus utama dari epos Mahabharata.

Imajinasi Dinasti?

Bila kita jeli membaca cerita ini maka kita dapat melihat bahwa sejatinya Wangsa Kuru sudah selesai secara biologis ketika Wicitrawirya wafat sementara Bhisma telah bersumpah untuk tidak memiliki keturunan. Cerita yang terjadi selanjutnya menunjukkan bagaimana manusia mampu membentuk suatu tatanan dan norma yang sifatnya imajiner sehingga mampu melampaui batasan biologis. Lalu bagaimana terbentuknya tatanan ini dan cara menjaganya muncul dalam cerita? Sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya kita membahas terlebih dahulu apa saja yang menjadi pondasi pembangunan politik bagi manusia, yang membedakan manusia dengan hewan lainnya.

Menurut Fukuyama(2011), setidaknya ada empat sifat alami manusia yang berhubungan erat dengan politik. Yang pertama adalah kita tumbuh dengan jiwa nepotisme, sehingga memiliki kecenderungan untuk bekerja sama dengan kerabat atau teman dekat. Kedua, kemampuan kita untuk membayangkan dan berteori menjadi dasar munculnya agama yang menjadi kunci penting kohesi sosial. Selanjutnya manusia condong mengikuti norma dan diliputi rasa bersalah apabila melanggar. Yang terakhir adalah kita makhluk yang haus akan pengakuan, pengakuan lalu menjadi basis legitimasi yang pada gilirannya mengizinkan pelaksanaan otoritas politik.

Kisah Mahabharata rupanya tak lepas dari kondisi di atas. Sebenarnya tidak dijelaskan bagaimana awal mula terbentuknya kerajaan-kerajaan dalam kisah ini. Ditambah lagi Mahabharata mengambil latar waktu jauh setelah Ramayana yang juga sudah memiliki institusi berbentuk kerajaan. Akan tetapi menurut saya tetap adil bila kita berasumsi bahwa logika dasarnya sama dengan kerajaan lain di dunia. Salah satu alasannya adalah karena banyak yang percaya bahwa cerita mahabharata benar-benar pernah terjadi di dunia ini.

Meskipun masih dapat diperdebatkan lebih lanjut, saya yakin Prabu Kuru selaku leluhur Pandawa dan Kurawa juga mewarisi kerajaan dari ayah beliau. Begitu seterusnya hingga pada suatu titik dimana bentuk masyarakat masih terbentuk dari suatu kelompok kecil yang saling bertalian darah. Pada suatu titik dalam rantai tersebut barulah muncul suatu kerajaan yang, meskipun cakupan wilayah dan manusianya jauh lebih luas, masih mempertahankan corak kekerabatan dalam suksesi kekuasaan. Dari sini kemudian kita mengenal istilah wangsa. Wangsa atau dinasti merupakan salah satu bentuk institusi politik yang mungkin sudah tidak asing bagi kita. Dinasti dapat dipahami sebagai suatu bentuk pemerintahan yang suksesi kekuasaannya dipegang oleh satu garis keturunan.

Selanjutnya, kita perlu memahami mengapa kerajaan tadi dapat muncul. Menurut Fukuyama faktor ini adalah agama, atau setidaknya kepercayaan terhadap hal yang sifatnya supernatural yang mampu mempengaruhi hidup manusia. Agama menjadi pendorong kohesi sosial agar masyarakat mampu bekerja sama satu sama lain, karena mereka percaya ada hal-hal yang sifatnya di luar ranah manusia. Selanjutnya terbentuk juga norma atau konstruksi sosial di masyarakat yang membatasi apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Hal ini ditambah kecakapan dari raja yang berkuasa menjadi kunci keberlangsungan kerajaan tersebut.

Di dalam kisah mahabharata kita bisa melihat bagaimana unsur kekerabatan dilengkapi dengan agama dan norma menghiasi sistem politik yang ada. Dimulai dari Hastinapura yang menganut sistem patriarki dimana pemimpin keluarga merupakan seorang pria. Begitu pula sistem pelacakan keluarga bersifat patrilineal yang menarik garis keturunan melalui leluhur pria. Norma dan institusi pemerintahan yang terbentuk telah dirancang sedemikian rupa sehingga Kerajaan Hastinapura tidak akan runtuh karena tidak memiliki penerus takhta. Praktek menikahkan istri dengan saudara mendiang suami hanyalah bentuk lain dari, misal, seorang raja yang memiliki banyak selir. Tujuannya sama agar suksesi kekuasaan dapat terus berjalan. Keturunan mereka lalu dianggap sebagai penerus takhta yang sah sesuai norma tanpa mempersoalkan masalah dna atau sejenisnya.

Akhirul Kalam

Perseteruan antara Pandawa dan Kurawa sejatinya merupakan adu klaim atas takhta. Kedua pihak sama-sama merasa bahwa mereka memiliki hak atas takhta Hastinapura (meskipun dalam cerita Pandawa hanya meminta separuh kerajaan pada waktu perundingan). Padahal secara biologis bisa jadi keduanya bahkan tidak memiliki pertalian darah dengan Prabu Santanu.

Tak bosan saya katakan bahwa manusia bisa tampil sebagai predator apex atau khalifah di bumi atau mungkin istilah lainnya karena kemampuan kita dalam membangun imajinasi. Kita mampu membangun suatu realitas imajiner (seperti norma, agama, bahkan negara) secara kolektif hingga kita dapat bekerja sama dengan orang yang sangat banyak. Imajinasi tersebut rupanya tidak berhenti sebatas menyatukan manusia yang berbeda. Imajinasi rupanya juga mampu memicu konflik dalam skala besar. Seperti halnya konflik dalam Mahabharata yang dipicu oleh klaim atas takhta.

Demikian perjalanan kita pada kesempatan ini. Apabila saudara punya usulan ide untuk dibahas di blog ini, bisa tinggalkan komentar atau hubungi penulis secara langsung. Terima kasih, sampai jumpa

--

--

Lentera Fajar Muhammad

Political Mythologist. Talking about mythology, superheroes, and sometimes politics too